Keluhan tentang moda transportasi pendukung Kereta Cepat yang kurang teratur dan menyebabkan penumpang merugi menjadi perhatian para netizen. Pengguna Twitter X @fauzibijak menceritakan pengalamannya menghadapi hambatan moda transportasi ketika hendak berangkat dari Bandung ke Jakarta dengan Kereta Cepat Indonesia – China (KCIC).
Fauzi menceritakan bahwa ia sudah menemui banyak hambatan untuk menuju Stasiun Tegalluar. Jadwal bus Damri yang diumumkan berangkat pukul 08.00 WIB ternyata molor hingga satu jam kemudian. Kereta lokal pun telat datang dari jadwal, sehingga ia harus menggunakan ojek online pukul 10.16 WIB. Akibatnya, Fauzi tidak bisa mengejar kereta yang akan berangkat pada 10.20 WIB karena peraturan mengharuskan setiap penumpang berada di peron maksimal lima menit sebelum keberangkatan.
Keterlambatan Fauzi ini disebabkan oleh transportasi pendukung yang tidak ontime. Padahal, Kereta Cepat didesain untuk datang dan tiba tepat waktu. Akhirnya, ia harus menunggu hingga pukul 13.00 WIB untuk jadwal keberangkatan selanjutnya. Kereta tersebut sampai tepat waktu di Stasiun Halim pada pukul 13.46 WIB atau kurang dari satu jam.
Keluhan ini tidak hanya dialami Fauzi, beberapa bulan sebelumnya, 31 penumpang juga mengalami ketinggalan Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. Ketinggalan kereta ini bukan karena faktor disengaja, melainkan tak disengaja disebabkan adanya kendala operasional kereta feeder dari Stasiun Bandung.
Corporate Secretary PT KCIC, Eva Chairunisa menyatakan bahwa, operasional Kereta Cepat Whoosh selalu mengedepankan ketepatan waktu, di mana tingkat on time performing (OTP) mencapai 100%. Oleh sebab itu, jika penumpang ketinggalan karena kendala kereta lokal atau kereta penumpang, maka PT KCIC memberikan kompensasi berupa diperkenan untuk mengikuti perjalanan Kereta Cepat Whoosh selanjutnya tanpa harus membeli tiket baru. Selain itu, KCIC juga memberikan snack serta minuman selama menunggu di hall Stasiun Padalarang. Jika penumpang tidak bersedia melanjutkan perjalanan, maka bisa memilih pembatalan tiket dengan pengembalian 100 persen.
Kasus Fauzi dan 31 penumpang lainnya menunjukkan bahwa moda transportasi pendukung Kereta Cepat tidak selalu ontime. Hal ini tentu menimbulkan kekecewaan bagi para penumpang yang ingin berangkat tepat waktu.